Lupa Password dan Draft Lama




Dear all,

Akhirnya setelah perjuangan hampir 2 tahun, gw baru inget lagi apa password blog gw, hehehe.. Menjengkelkan memang, setelah bikin banyak tulisan, eh pas buka blog malah bengong lupa password. Dan (tentunya) lebih menjengkelkan lagi, saat password-nya keinget, tulisan-tulisan yang udah kemaren disiapin malah gantian ngilang T_T

Hiks..
Oh ya, beberapa hari kemaren, gw iseng buka beberapa draft lama beberapa potongan cerita sisa-sisa di PC lama, sepertinya sayang juga kalau ga ada yang baca. Gw coba upload disini ya, tentunya dengan beberapa perbaikan supaya sesuai dan lebih relevan. Pls make some noises with your comments. Thks. :)




------------------------------
Djati kemudian sms Stephanie. “Saya jalan sekarang ya, Bu Fanie”.Dan tak lama berselang datanglah sms balasan. “OK Pak, saya juga jalan sekarang”.
Mengingat perjalanan menuju restoran yang cukup lumayan jauh, Djati nampak jalan tergesa-gesa. Apalagi dia sendiri belum mengetahui dimana tepatnya Portrait Café berada, di Plaza Indonesia. Sepanjang perjalanan, pikiran Djati berkecamuk. Dia sendiri bingung, apa yang akan dia dan Stephanie bicarakan saat makan siang bersama. Namun satu yang pasti, dia tidak mau melewatkan kesempatan ini. Mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan dia untuk dekat kembali dengan Stephanie.
Setelah bertanya ke beberapa orang, akhirnya Djati menemukan lokasi Portrait Café berada. Dia lihat sekeliling, dan sepertinya Stephanie belum sampai disana.
“Siang Pak. Lunch untuk berapa orang Pak?”, tanya seorang pelayan di pintu masuk café.
“Dua orang Mbak.”
Smoking atau non smoking area?”

Non smoking please

“OK, Bapak bisa pilih di sofa pojok. Disitu masih free..”

“Makasih Mbak”

Djati pun duduk dan diberikan daftar menu oleh pelayan lainnya.
“Mbak, pesennya sebentar lagi ya. Saya tunggu temen dulu”
“Baik Pak. Silakan”

Djati melirik jam tangannya. Pukul 12.17 dan Stephanie belum juga terlihat. Sambil menunggu, Djati pun melihat daftar menu dan..
“Waduh, mahal semua..”, tukas Djati dalam hati. Dia pun meneliti harga dari masing-masing menu.
“Deim gunadeim, makanan paling murahnya 30 ribu perak, minuman paling murah 20 ribu. Itu pun air mineral”.

Djati pasrah.
“Siang Pak Djati..”, suara indah membuyarkan Djati.
“Bu.. Bu Fanie… Si-siang Bu.. Silakan duduk Bu..”, Djati agak terkejut sambil kemudian berdiri.
“Thanks Pak. Sori, tadi saya pas mau turun. Dicegat bos dulu minta quick report

“Oh, gapapa Bu. Saya juga baru sampe kok.”

“Sudah pesen Pak?”

“Belum Bu. Saya tunggu Ibu biar barengan”

Stephanie pun mengambil menu, berpikir sebentar, kemudian memilih satu menu.
“Sudah pilih Pak?”
“Hmm.. Saya jujur aja Bu. Saya agak gaptek soal makanan disini..”, sifat kampungan Djati keluar.

Stephanie pun tersenyum manis.
“Saya bantu ya..”
“OK”

“Hmm.. Bapak mau makan berat apa ringan?”

“Saya laper Bu.. Hehehe..”.

OK Then. How bout this.. Black pepper burger. Lumayan kenyang lho Pak”

“Hmm…”. Djati melirik menu mencari makanan yang dimaksud, dan melihat harga yang tertera disampingnya. Deim gunadeim.. 75 ribu
!.

“Oh iya, for your consideration. Ini bisa tanpa bawang.. Kalau yang lain, saya ga yakin”.

Djati pun terdiam. Dia pandang Stephanie dalam-dalam. Dia kaget juga kalau Stephanie masih ingat dia tidak suka bawang. Stephanie yang merasa sedang dipandangi Djati kemudian jadi agak salah tingkah. Dia kemudian kembali memecah kesunyian.

“Jadi gimana Pak? Apa mau menu lain? Saya coba cari lagi”

Djati menghela napas dan berpikir sebentar.
“Ga usah Bu. Saya pesen itu aja. Semoga gambar di menu ga bohong”
Stephanie tersenyum. “You’ll be surprised Pak. Minumannya apa Pak?”

“Hmm… Denger-denger, disini air putihnya enak banget Bu. Saya pesen air mineral aja..”

Stephanie kali ini tertawa kecil. Manis sekali.
“Bapak bisa aja hehehe.. OK, kita pesan sekarang ya.. “


***

“So, how’s life Bu?”
“Yaa.. saya sih sama aja Pak. Sekarang lagi sibuk project sama pemerintah”
“Wow.. Kenceng dong ya?”

Stephanie tersenyum. “Amiin Pak.. saya belum tahu kenceng apa ga.. Yang pasti ribet Pak”.
“Bapak sendiri gimana?”
“Saya.. Hmm.. Sama juga Bu. Ya sibuk-ga-sibuk. Cuman ya sekarang sih lagi agak free aja”

“Ohh..”

“…”

“…”

Hening.
Djati pun memandang Stephanie. Dalam.
Stephanie membalas sesaat dan menunduk.
“Permisi.. Green tea latte dan air mineral”, seorang pelayan memecah kesunyian.
“Makasih mas..”, sahut Djati dan Stephanie hampir berbarengan.
“Sama-sama Pak, Bu..”
, balas pelayan sopan sambil undur diri.

“Hmm…”, Djati tampak mencari bahan pembicaraan.
“….”, Stephanie mulai memperhatikan.
“Ehmmm..”

“…”
, Stephanie menunggu.

“….”
, Djati tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dia bicarakan.

“…”
, Stephanie tersenyum. Manis.

“…”

“Kenapa Pak?”
“Gapapa Bu..”
“Ada yang mau diceritainkah?”
, Selidik Stephanie sambil menyeruput Green Tea Latte.

“Hmm…”

“…”

“Saya ga tau mau ngomong apa Bu”

Stephanie memindahkan minuman dan mencondongkan badannya agak ke depan.
“Kok bisa gitu Pak?”
“Hmm.. ga tau Bu..”

Stephanie menghela napas. Kini semua terasa lambat.
“Saya.. “, Djati melanjutkan pembicaraan.
“Saya jujur aja. Saya suka gugup kalo ngomong sama Ibu..”

“…”

“Saya… “

“Permisi.. Black Pepper Burger dan Premium Pasta with Mozarella”, lagi-lagi pelayan memecah kebuntuan.
“Oh.. Makasih mas..”, tukas Djati. Sementara Stephanie memandang Djati dalam-dalam.
“Ada lagi pesanan yang belum datang Pak?”

“Hmm.. Lengkap mas.. “

“OK, kalau begitu selamat menikmati santap siangnya Pak, Bu”.

“Makasih.. “, balas Djati dan Stephanie berbarengan.



***


Suasana kali ini begitu hening. Saling diam. Djati dan Stephanie mulai mengambil makanannya masing-masing.
“Makan ya Pak..”
“Iya Bu, silakan”

Stephanie mulai menggenggam kedua tangannya, memejamkan mata, berdoa, dan menutupnya dengan membuat alur salib. Djati pun menundukkan kepala, membaca doa, dan menutupnya dengan membasuh muka dengan kedua tangannya. Amiin.
Suasana masih hening. Namun kali ini Djati dan Stephanie nampak saling berpandangan. Semua dilakukan tanpa sedikit pun bersuara, seolah mereka saling mengerti, bahwa dengan diam pun semua arah sudah bisa dibaca. Semua rahasia sudah bisa diterka. Terkadang memang benar apa kata orang, kita hanya perlu diam untuk menjadi jujur. Namun masalah akan menjadi berbeda ketika setelah diam, kita tidak mengakui kejujuran yang tercipta.



***


Kali ini makanan sudah hampir habis disantap. Stephanie bahkan sudah menutup posisi alat makannya.
“Habis ini mau kemana Bu?, Djati memecah kesunyian.

“Hmm.. Saya ada presentasi lagi Pak di klien”

“Bawa kendaraan apa naik taksi?”

“Bawa Pak, saya parkir di bawah”

“Bapak habis ini pulang ke kantor apa gimana?”

“Iya, saya ada beberapa kerjaan kecil yang mesti selesai hari ini..”

“Ooo..”

“Ibu udah selesai?”

Stephanie diam sesaat, seperti masih tidak ingin beranjak. “Sudah Pak. Bapak sudah?”
“Udah Bu.. Hmm.. Bu, saya aja yang bayar ya”
“Saya aja Pak.. “
“Gapapa saya aja. Saya kan yang ngajak Ibu makan bareng”

“Hmm..”

“Saya aja ya..”, Djati kembali meyakinkan Stephanie.

“Oke deh Pak.. Tapi lain kali gantian ya..”

“Berarti ada makan bareng lagi Bu?”

“Ya, kita harus makan bareng lagi. Gantian saya yang bayar nanti”

“OK.. “, sahut Djati sambil tersenyum.

Djati pun meminta tagihan dan membayarnya segera.
“Ibu langsung jalan ke parkiran sekarang?”
“Iya Pak..”

“Saya anter sampai parkiran ya”

“Boleh Pak. Tapinya Bapak ga keburu-buru kan?”

“Gapapa.. saya anter Ibu dulu aja sebelum balik ke kantor.”


Mereka pun jalan meninggalkan Portrait Café.
“Bapak lahir tahun berapa?”. Tanya Stephanie sambil berjalan ke arah lift.
“8
4 Bu. Ibu?”

“Wah.. Saya 8
4 juga Pak. Bulan apa Pak?

“Saya Agustus Bu. Ibu?”

“Saya Agustus juga Pak. Wah kita sebenernya seumuran ya..”

“Iya Bu hehehe..”

“Harusnya kita jangan panggil Bapak-Ibu kali ya Pak”

“…”

Pintu lift terbuka. Kosong. Kemudian Stephanie menekan tombol lantai parkir paling bawah. Pintu lift tertutup.
“Bu Fanie..”
“Iya Pak..”

“Saya kagum sama Ibu..”

“…”

“…”

Pintu lift kembali terbuka. Djati mempersilakan Stephanie keluar terlebih dahulu.
“Kenapa kagum sama saya Pak?”
Djati menghela napas, diam sebentar.
“Ga tau juga Bu. Ya.. Mungkin karena Ibu smart, easy going..”
“…”

“…”

“Ini mobil saya Pak”

“dan cantik…”
, Djati bersuara lirih.

Stephanie terdiam. Djati juga.
“…”
“Udah jam setengah dua Bu.”

Stephanie melirik jam tangannya. Diam sesaat.
“Iya Pak. Saya duluan ya Pak. Bapak mau barengan ga? Saya anter ke kantor”
“Ga usah, saya jalan aja. Deket ini Bu”

Stephanie masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin.
“Pak Djati..”
“Iya Bu”

“Thanks atas makan siangnya..”

“Saya yang harusnya bilang makasih. Ibu udah mau nemenin saya makan siang.”

Stephanie tersenyum. “Lain kali saya yang bayar ya Pak”
“Ya.. Silakan Bu”
“…”

“…”

“Oke Pak, saya jalan sekarang ya..”

“Hati-hati Bu nyetirnya..”

“Bapak juga ya…”

“Oke.. Bye Bu Fanie..”

“Bye Pak Djati”

Dan Fanie pun menjalankan mobilnya dan meninggalkan Djati.

***



Djati kemudian berjalan pelan keluar. Dia tarik napas dalam-dalam. Deim gunadeim.. Sudah dikasih waktu 1.5 jam makan bareng, sudah keluar modal 200 ribu lebih, namun tak satu pun isi hatinya keluar sempurna dihadapan Stephanie..
“Oke, makan siang berikutnya, harus bener-bener jadi”, tukas Djati dalam hati.
Deim gunadeim.



----

picture taken from http://atg.wa.gov


0 comments:

Blogger Template by Clairvo