Satanic Finance




“Barangkali ada bagusnya rakyat Amerika tidak tahu asal muasal uang, karena jika mereka tahu, saya yakin besok pagi akan ada revolusi”, Henry Ford.
***

Mari menulis serius.

Beberapa hari terakhir ini gw keasyikan membaca artikel mengenai Satanic Finance yang sempet boom tahun 2008 kemaren (hiks, baru ngeh sekarang..). Satanic Finance sendiri adalah satu buku bagus karya Riawan Amin yang bercerita tentang sistem kebobrokan ekonomi dunia saat ini, dimana kapitalisme merajalela dan secara sengaja didesain bukan untuk memajukan peradaban dunia, melainkan sebagai alat kolonialisme di era baru.

Dari yang gw baca, ada tiga pilar yang menopang Satanic Finance, yaitu :
  1. Fiat money (uang kertas / uang yang seolah-olah uang)
  2. Fractional Reverse Requirement (peraturan cadangan simpanan)
  3. Interest (sistem bunga)

Dan tahukah, kesemua pilar itu ternyata sesuai banget dengan kondisi keuangan dunia sekarang ini. Selain itu, tiga pilar tersebut juga menjadi backbone asal muasal kenapa kita saat ini menggunakan uang kartal. Nah, mengenai asal muasal ini, akan gw coba share sesuai dengan pengertian dan pengetahuan gw ya. Gw akan menggunakan pengandaian dalam bentuk cerita karangan, hehehe… Mohon ya kalau ada yang salah, dan temen-temen tahu soal hal ini, mohon dikoreksi :)

***

Di suatu daerah terpencil, sebutlah namanya Cimaju, terdapat masyarakat yang hidup bahagia dan aman tenteram. Kekayaan alamnya terhampar di seantero daerah, dan untuk melengkapi kebutuhan ekonomi, mereka menggunakan emas sebagai alat tukar. Kenapa emas? Karena selain susah dibuat, emas juga susah dicari, tidak mudah rusak, dan tentunya, bernilai intrinsik yang sangat tinggi.

Tiba-tiba, datanglah seseorang dari luar daerah yang bernama Pak Bobi. Pak Bobi sendiri adalah orang yang selalu berpakaian rapi, rambut klimis, dan berperangai sopan. Dia kemudian menemui kepala daerah Cimaju yang bernama Pak Ujang dan berdiskusi dengan beliau.
“Pak Ujang, daerah Cimaju kan luas. Kalau masyarakat sini pengen bepergian dengan membawa emas kan repot. Berat pula. Saya ada ide yang barangkali bisa diterima Bapak dan masyarakat..”
“Ide apa, Pak Bobi?”
“Saya akan buka tempat penitipan emas, Pak. Jadi kalau misalkan Pak Ujang mau pergi ke ujung daerah, ga perlu bawa emas.
“Lalu kalau saya pengen berbelanja sesuatu gimana, Pak?”
“Nah, sebelum berangkat, Bapak titipkan emasnya di saya. Misalkan jumlahnya 10 keping emas. Nanti saya bikinkan kuitansi kalau Bapak menitipkan emasnya di saya. Satu lembar kuitansi setara dengan 1 keping emas. Jadi Bapak nanti mendapatkan 10 lembar kuitansi.
“Lalu?”
“Nanti pas Bapak sampai tujuan, Bapak tinggal cari saja penitipan emas cabang sana, lalu tukar lagi deh dengan 10 keping emas. Jadi Bapak bisa berbelanja disana, dan lebih efisien pastinya.”
“Wah, oke juga ya idenya, Pak”
“Malah ya Pak, kalau menurut saya nih, kuitansi itu juga bisa dipindahtangankan. Jadi Bapak bisa aja ganti alat tukarnya dari emas ke kuitansi saya, toh nilainya kan sama aja. Kalau Bapak titipnya 10 keping emas, ya kuitansi itu kan mewakili 10 keping emas tersebut”
“Waduh, tapi kalau masyarakat saya ga setuju gimana?”
“Hmm.. begini saja, saya akan bikin beberapa tipe kuitansi. Nanti di kuitansinya akan ada foto Bapak, atau foto-foto leluhur masyarakat sini. Tentu mereka senang kan Pak kalo foto-foto orang yang mereka banggakan ada di kuitansi?”
“Wah, saya jadi terharu Pak Bobi punya pemikiran kaya gitu. Tapi semua ini, apa untungnya buat Pak Bobi? Kok Pak Bobi mau buat kaya gini semua?”
“Gampang Pak. Nanti saya juga menyediakan pinjaman kuitansi per tahunnya. Jadi dari orang yang pinjam, saya akan meminta biaya administrasi sebesar 15% dari jumlah kuitansi yang mereka pinjam. Nanti dikembalikannya setahun setelah peminjaman.”
“Hmm.. oke, ga masalah Pak. Bapak sangat brilian.”, tutup Pak Ujang setuju.

Sesuai rencana, Pak Bobi pun membangun tempat penukaran emas di seluruh pelosok daerah dan mempromosikan semuanya itu, tentu saja dengan dibantu Pak Ujang yang sangat kharismatik di mata masyarakat. Dan singkat cerita, masyarakat pun mulai menukar emas yang mereka punya saat bepergian ke tempat yang jauh, lalu menukarnya kembali saat tiba di tujuan.

Lambat laun, masyarakat mulai mengikuti saran Pak Bobi. Mereka jarang menukar kembali emas yang mereka titipkan saat tiba di tujuan. Mereka mulai bertransaksi dengan menggunakan kuitansi tersebut. Toh tidak ada bedanya, pikir mereka. Sama nilainya dengan emas yang mereka punya.

Setelah berjalan beberapa lama, Pak Bobi kemudian melakukan review. Dari total 1 juta keping emas yang dititipkan oleh masyarakat, ternyata hanya 10%-nya saja yang ditukar kembali. Dengan kata lain, hanya sekitar 100 ribu keping emas saja yang diambil kembali oleh masyarakat dan 900 ribu keping emas lainnya masih berada di penitipan.

Pak Bobi kemudian melanjutkan rencana berikutnya. Dia mulai berpikir dalam.
“Rata-rata, masyarakat yang menukar kembali emasnya hanya sekitar 10%.
 Dari 1 juta keping emas, yang ditukar lagi cuma 100 ribu aja. Yang lainnya puas memakai produk buatanku.
Berarti kalau aku buat lagi kuitansi sebanyak 8 juta lembar kuitansi, masih aman dong ya..
Kan kalau ditotal-total ada 9 juta lembar kuitansi yang aku keluarkan, kalau pun ada yang tukar lagi,
Toh masih ada 900 ribu keping emas yang ada di penitipan..”, pikir Pak Bobi tertawa riang.

Maka 8 juta lembar kuitansi tersebut diberikan kepada orang yang ingin meminjam kuitansi. Pak Bobi pun mengingatkan masyarakat yang meminjam dengan sopan,
“Bapak, Ibu, berarti setahun dari sekarang, pinjamannya nanti tolong dikembalikan bersama administrasinya ya, hanya 15% saja kok.. Kalau misalkan Bapak atau Ibu pinjam 100 lembar, berarti nanti dikembalikannya 115 lembar. Begitu Pak, Bu”

Dan masyarakat pun mengangguk setuju.

Pak Bobi mulai tertawa riang kembali. Dia sudah menjalankan strategi canggih, dan sekarang tinggal memetik hasilnya. Kuitansi yang dia keluarkan totalnya berjumlah 9 juta lembar. Dengan rincian 1 juta lembar setara 1 juta keping emas, dan 8 juta lembar lainnya dia pinjamkan ke masyarakat lainnya, yang mana tahun depan, masyarakat yang meminjam itu harus mengembalikannya sebesar 9.2 juta lembar, walaupun kuitansi yang dia buat hanya 9 juta lembar saja.

Dan setahun kemudian, tentu saja banyak masyarakat yang gagal bayar. Bukan karena mereka tidak berusaha, namun karena memang jumlah lembar kuitansi tersebut tidak mencukupi. Namun sayangnya mereka tidak menyadari hal itu. Sebagai wakil masyarakat, Pak Ujang pun mencoba berdiskusi dengan Pak Bobi.

“Pak Bobi, masyarakat saya sekarang tidak mampu membayar utang mereka Pak. Mohon kebijaksanaan Pak Bobi”
“Mereka bisa membayar dengan emas yang masih mereka punya, Pak Ujang.”
“Itu kalau yang masih punya Pak. Kalau yang sudah tidak punya bagaimana ya?”
“Hmm.. Saya sebenarnya dari awal sudah memberi tahu Pak, kalau biaya administrasi ini kan harus dibayar juga.
Ya sudah tidak apa-apa. Begini saja, bayarnya dengan harta yang mereka punya saja Pak. Gimana?”
“Harta bagaimana Pak, maksud Bapak?”
“Begini Pak Ujang, misalkan saya punya utang kuitansi sebanyak 500 lembar, lalu saya punya tanah seharga 500 keping emas. Nah itu kan setara. Jadi tanah tersebut bisa dijadikan alat pelunasan Pak.”
“Oh gitu Pak..”
“Iya, atau kalau tidak punya tanah, rumah juga bisa, atau kebun, sawah, binatang ternak. Apa saja deh Pak, gapapa. Yang penting setara nilainya..”
“Satu lagi Pak. Kalau saya yang tidak bisa bayar bagaimana? Apakah ada kebijaksanaan lain?”
“Hmm.. Kalau buat Pak Ujang saya kasih spesial deh. Bapak ga perlu bayar utangnya, tapi saya minta bantuan Bapak, kalau-kalau saya ada kebutuhan, tolong Pak Ujang akomodasi. Jangan sampai kebutuhan saya tersebut bertabrakan dengan peraturan-peraturan daerah ini Pak..”
“Wah, kalau itu mah gampang Pak. Saya bisa bantu Bapak tentunya.
“Terima kasih banyak ya Pak Ujang. Saya senang bekerja sama dengan Pak Ujang.
“Waduh, Pak Bobi. Saya yang harusnya berterima kasih. Terima kasih banyak ya Pak atas kebijaksanaannya. Saya sekarang akan memberi tahu kabar gembira ini kepada masyarakat..”

Dan akhirnya, masyarakat yang berutang pun mulai melunasinya dengan harta mereka. Karena nilai hutang yang besar, mereka pun menaikkan harga-harga dari harta mereka. Tanah yang tadinya setara 500 lembar kuitansi, mereka naikkan menjadi 750 kembar kuitansi. Begitu pun dengan harta-harta lainnya. Mengantisipasi hal tersebut, Pak Bobi kembali mengeluarkan sekian lembar kuitansi agar mengantisipasi kenaikan harga. Dan tentu saja, masyarakat mendapatkan kuitansi baru tersebut dengan berutang.

Begitu seterusnya sampai akhirnya lambat laun seluruh aspek kehidupan Cimaju pun dikuasai Pak Bobi, baik secara perekonomian, sosial, politik, dan budaya. Sebuah era kolonialisme baru tanpa menjajah secara fisik.


***

Bisa kebayang kan ya posisi ketiga pilar yang gw sebutin tadi dalam cerita ini. Finally, dari gw, ada beberapa fakta tambahan hasil google sana-sini yang mungkin bisa melengkapi cerita diatas :
  1. Bersama dengan perak dan tembaga, dari dahulu (zaman raja Croseus tahun 560 SM), emas dijadikan sebagai alat tukar sampai datangnya kejayaan ordo Knight Templar setelah perang salib yang pertama (1099 M). Ordo tersebut memiliki lembaga simpan pinjam yang diberi nama Usury yang digunakan para peziarah Eropa untuk menyimpan perbekalan emas yang dimiliki saat akan bepergian ke Yerusalem. Nantinya saat emas dititipkan, akan diberikan suatu surat jaminan dengan sandi tertentu yang bisa dicairkan senilai emas yang dimiliki di Jerusalem. Dan tentu saja, ada biaya administrasi untuk hal ini. Pada tahun 1773, Knight Templar kemudian mengadakan pertemuan di rumah Sir Mayer Amschel Rotschilds untuk merancang penguasaan dunia melalui The New Illuminati pimpinan Adam Weishaupt. Dari sinilah Federal Reserve (bank sentral AS) dan sistem jaringan perbankan dunia berawal.
  2. Harga satu ekor kambing sejak jaman Rasulullah Muhammad SAW adalah sekitar 1 dinar, dan harga tersebut tidak berubah sampai saat ini (1 dinar = 4.25 gram emas 22 karat). Zero inflation.
  3. Buku Satanic Finance jarang (bahkan langka) ditemukan di toko-toko buku besar. Namun gw sempet nemuin beberapa yang jual di portal online.

----

picture taken from http://votreesprit.wordpress.com 


0 comments:

Blogger Template by Clairvo